Tentang Sakit, Sebuah Keunikan, dan Secercah Perubahan

Memandang sakit dan keunikan dalam kacamata positif

Posted on June 2024


“Semua orang sebenarnya sakit, hanya saja sebagian orang memiliki sakit yang sama sehingga mereka menganggap diri mereka sehat”

adalah salah satu nilai yang kumiliki semenjak aku berkuliah.

Tentang Sakit

Sakit di sini bisa diartikan sebagai gangguan kesehatan fisik: dari batuk dan flu hingga kanker dan cacat fisik.

Bisa juga diartikan sebagai gangguan kesehatan mental seperti anxiety, depresi, dan lainnya.

Mengapa baik flu dan depresi disebut sebagai “gangguan kesehatan”? Jika kedua hal ini dapat dikelompokkan ke dalam satu kelompok, yaitu “gangguan kesehatan”, artinya ada hal yang menyamakan flu dan depresi.

Salah satu kandidat jawaban mendefinisikan gangguan kesehatan sebagai suatu kondisi yang mempersulit kegiatan sehari-hari seseorang.

Tapi jika begitu, mengapa sakit yang muncul bersamaan dengan kelahiran orang tersebut, seperti sakit bawaan: asma dan autis disebut sebagai gangguan? Bukankah orang-orang yang terkena gangguan ini belum pernah merasakan hidup tanpa gangguan tersebut sehingga mereka tidak bisa mengatakan kalau kondisi ini mengganggu kegiatan sehari-hari mereka? Aku kurang setuju jika ini adalah definisi dari gangguan kesehatan karena kontradiksi tersebut.

Misalkan seseorang yang masuk dalam kategori orang dalam gangguan jiwa (ODGJ), hidup dengan cara mencuri makanan tetangganya. Tetapi dia tidak pernah tertangkap dan dia merasa bahagia dengan hidupnya. Apakah dia merasa “gangguan” ini mengganggu kehidupan sehari-harinya? Lantas siapa yang merasa terganggu? Tetangganya.

Seseorang yang buta warna sangat ahli dan menyukai hal-hal berbau elektronik. Di rumahnya, dia telah menciptakan banyak sekali peralatan elektronik. Dia memiliki cara sendiri untuk membedakan warna-warna kabel. Kemampuannya bisa dibilang melebihi kemampuan rata-rata teknisi elektronik di seluruh dunia. Lantas apakah kita sebagai masyarakat dapat mempercayakan suatu pekerjaan yang jika salah warna kabel satu kali saja akibatnya fatal ke kehidupan kita? Tidak. Oleh karena ini, banyak program sekolah sarjana teknik elektro mensyaratkan bebas dari buta warna. Tapi orang ini memang tidak ingin pekerjaan itu dan bahagia dengan hidupnya. Dia tidak merasa terganggu dengan kondisinya. Lantas siapa yang merasa terganggu? Masyarakat.

Seorang pengidap Prolonged grief disorder (PGD) memilih tetap bekerja tetapi tidak fokus dengan pekerjaannya karena kondisi ini. Menurut medis, PGD adalah kondisi dimana seseorang tidak bisa menjalankan kehidupan sehari-harinya dikarenakan dia masih berduka atas kepergian seseorang dari dunia ini, meskipun kepergiannya sudah satu hingga dua tahun yang lalu. Siapa yang lebih merasa terganggu akibat dukanya? Dirinyakah atau perusahaannya? Aku yakin orang tersebut juga tidak ingin menghilangkan rasa dukanya. Bukankah duka adalah bentuk lain dari cinta? Mungkin menarik jika kita bicarakan hal ini lain waktu.

“Duka adalah bentuk lain dari cinta”

Adalah salah satu nilaiku yang kudapatkan beberapa bulan yang lalu.

Kembali ke PGD, jika kita menganggap PGD sebagai suatu gangguan kesehatan, lantas apakah orang tersebut harus berhenti berduka dan move on seakan-akan tidak terjadi apa-apa? Apalagi orang yang meninggal dunia biasanya adalah bagian penting dari orang tersebut. Lantas siapa yang paling terganggu dari kondisi ini? Perusahaannya.

Aku tidak setuju jika anxiety, depresi, dan segala kondisi mental lainnya dikategorikan sebagai sebuah gangguan.

Sebuah Keunikan

Ada kesamaan dari semua kasus di atas, baik gangguan kesehatan fisik dan gangguan kesehatan mental.

Definisi dari gangguan kesehatan yang tertutupi oleh definisi normatif tadi adalah:

Gangguan kesehatan adalah suatu kondisi yang membuat orang-orang pemilik kondisi tersebut berbeda dari manusia normal sehingga kondisi ini mengganggu kehidupan manusia normal lainnya.

Definisi yang sangat subyektif. Karena tidak ada definisi yang pasti dari “mengganggu” dan “manusia normal”. Bahkan, tidak ada yang namanya “manusia normal”.

Karena setiap orang memiliki penyakit. Masing-masing dari kita memiliki penyakit yang unik untuk diri kita sendiri. Ada yang terobsesi oleh uang. Ada yang terobsesi oleh anime. Ada yang tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang lain. Ada yang sangat memperhatikan pendapat orang lain. Ada yang takut ketinggian. Ada yang lahir dengan kondisi tidak bisa melihat. Ada juga yang lahir dengan paru-paru yang kuat sehingga dia bisa berenang dan lari dalam jangka waktu yang lama.

Secara obyektif, tidak ada yang salah dari mereka. They are simply just human beings. Manusia itu unik.

Secercah Perubahan

Keunikan ini konsekuensi manusia sebagai sistem kompleks. Salah satu hal yang menyebabkan lahirnya suatu sistem kompleks adalah variasi. Dalam kasus manusia, variasi dalam DNA.

Variasi erat hubungannya dengan teori evolusi. Empat hal penting dari teori evolusi adalah:

  1. Suatu sistem melahirkan sistem baru
  2. Sistem baru yang dihasilkan memiliki kesamaan dengan sistem yang melahirkannya
  3. Adanya perbedaan kecil dari sistem baru itu dengan sistem yang melahirkannya
  4. Adanya seleksi sistem

Variasi dalam DNA kita mengakibatkan adalah perbedaan kecil antara kita dengan orang tua kita. Seorang anak singa memiliki kaki yang lebih tinggi tiga sentimeter dibanding orang tuanya. Hal ini mengakibatkannya lebih cepat dibanding orang tuanya. Tapi bisa juga anak singa yang lahir memiliki cacat mata sehingga dia tidak bisa melihat relatif lebih jauh dibanding orang tuanya.

Bapakku dulu pengidap diabetes. Sebagai keturunannya, peluangku mengidap diabetes relatif lebih besar dibanding orang normal. Hal ini mungkin negatif buatku. Tapi coba kita lihat dari sisi lain. Mengapa DNA pengidap diabetes dapat bertahan hingga sekarang? Seperti yang kita ketahui tadi, adanya seleksi alam. Anak-anak singa pemilik DNA rabun jauh pasti tidak akan bertahan di alam sehingga dia tidak akan menghasilkan keturunan. Tapi mengapa pengidap diabetes tetap ada hingga saat ini? Hal ini karena DNA pengidap diabetes dapat bertahan relatif lebih lama dibanding manusia normal dalam kondisi tidak makan selama berhari-hari. Di situasi seperti dahulu kala, dimana makanan susah didapatkan, tentunya ini trait positif.

Lantas apakah DNA ku kuanggap sebagai suatu penyakit? Tidak, I am simply unique.

Justru dari variasi-variasi ini dapat ditimbulkan perubahan dari kondisi normal.

Variasi dalam DNA adalah kesalahan copy dalam DNA kita. Kesalahan ini justru menciptakan perubahan pada generasi yang baru. Seperti anak singa yang lebih cepat.

Perubahan tidak akan terjadi tanpa adanya keunikan dari kondisi normal.

Kita dapat melihat “penyakit” sebagai suatu gangguan atau suatu kesalahan yang berpotensi untuk menimbulkan perubahan.

As Nietzsche said,

“One must still have chaos in oneself to be able to give birth to a dancing star”