Cinta, Tanggung Jawab, dan Ikatan

Apa yang menjadikan seorang manusia hidup?

Posted on June 2024


Apa yang menjadikan seorang manusia hidup?

Pertanyaan yang bodoh.

Tentu saja manusia hidup jika dia bernafas, jantungnya berjalan dengan lancar, otaknya berjalan dengan lancar, dan karakteristik-karakteristik biologis lainnya.

Tidak… tidak… yang kumaksud bukan syarat materialis kita bergerak.

Akan coba kumulai dari suatu situasi hipotetikal. Bayangkan, jika seseorang terkurung dalam ruangan kosong selamanya dan setiap hari melalui sebuah lubang, dia mendapatkan tiga piring makanan dan minuman untuk menunjang hidupnya. Setiap harinya, yang dapat dia lakukan hanyalah bangun tidur, makan dan minum, buang air besar dan kecil, lalu tidur.

Apa hal ini bisa disebut dengan hidup?

Sebagian orang mungkin menjawab tidak. Sebagian lagi mungkin menjawab iya dia hidup dan mempertanyakan ke-ekstrem-an situasi di atas, menggerutukan ketidakmungkinan situasi di atas di dunia nyata.

Tapi apakah situasi di atas tidak mungkin terjadi? Bukankah ada sebagian orang (banyak) yang merasa dirinya tidak tahu tujuan hidupnya di dunia ini? Setiap hari yang mereka lakukan adalah bangun tidur, berangkat kerja mencari uang, makan, pulang kerja, tidur, membayar pajak dan membeli barang-barang material yang meningkatkan dopamine-nya, dan kembali lagi bekerja tanpa mengetahui kenapa dia melakukan hal ini semua dan demi apa dia melakukan hal ini semua. Apa bedanya dia dengan orang yang terkurung tadi?

Bagiku, orang-orang yang memiliki situasi yang sama seperti ini tidaklah hidup. Dan aku pernah berada di situasi ini.

Bagiku, hidup artinya memiliki nilai yang kita ilhami dalam kehidupan kita.

Nilai hidup kita datang dari diri kita sendiri, yaitu interaksi kita dengan lingkungan.

Jika seseorang bekerja demi suatu hal, seperti keluarga, dia telah memberikan nilai ke dalam kehidupannya. Apa yang dia lakukan setiap harinya, seperti bekerja untuk mendapatkan uang, memiliki arti. Karena ini dia menjadi hidup.

Selama 25 tahun perjalanan hidupku ini, aku memiliki beberapa nilai yang membuatku menjadi seseorang yang sekarang ini. Mungkin, akan menarik jika aku menjabarkan nilai-nilai ini dalam suatu series.

Apa yang akan kutuliskan ini adalah salah satu nilaiku mengenai cinta. Nilai yang kumaksud berbunyi:

“Mencintai suatu hal artinya merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada hal tersebut”

Untuk seseorang yang belum pernah memiliki pacar, aku nampak omong besar. Tapi yang kumaksud dengan cinta di sini bukan hanya cinta akan kekasih atau pujaan hati saja. Bukankah kasih sayang seorang orang tua kepada anaknya juga disebut dengan cinta? Atau seseorang akan negaranya? Atau juga cinta seseorang akan apa yang dia lakukan seperti pekerjaannya? Bukankah semua ini adalah cinta?

Ya, cinta yang kumaksud berangkat dari proposisi di atas, cinta secara substansial.

Oleh karena itu, meskipun aku belum pernah berpacaran, aku merasa capable untuk berbicara mengenai hal ini. Toh, jangan melihat suatu proposisi dari sumbernya, tapi lihatlah dari isi proposisinya sendiri. Kalau tidak, tentu kita jatuh pada falasi berpikir.

Kembali ke permasalahan cinta, apa perbedaan cinta seorang orang tua kepada anaknya dengan cinta seorang laki-laki kepada lawan jenisnya?

Salah satu perbedaan yang mencolok adalah adanya faktor nafsu, keinginan untuk memiliki dan/atau bercinta, pada cinta laki-laki itu dan ketidakadaan nafsu pada cinta orang tua.

Okay, lalu apa salahnya dengan adanya nafsu?

Tidak ada yang salah. Hanya saja, kita perlu berhati-hati untuk membedakan cinta dengan nafsu. Jika kamu jatuh cinta pada seseorang, apakah cintamu ini benar-benar cinta, atau hanyalah nafsu saja? Karena pernikahan dibentuk atas dasar cinta, bukan atas dasar nafsu (At least, ini yang aku percayai saat ini).

Cinta adalah bentuk lain dari tanggung jawab

Ada satu hal yang menjadi bintang utaraku untuk menentukan apakah yang kurasakan adalah cinta atau nafsu: apakah aku merasa bertanggung jawab atas apa yang kukira aku cintai?

Cinta adalah bentuk lain dari tanggung jawab. Cinta dan tanggung jawab adalah dua sisi dari satu uang koin. Kita dapat melihat suatu koin melalui sisi kepala dan ekor. Dari manapun kita melihat, koin tadi tetaplah koin. Sama seperti koin, jika kita mencintai seseorang atau suatu hal, kita harus bisa melihatnya dari sisi cinta dan dari sisi tanggung jawab.

Apakah kau mencintai negaramu? Apakah kau merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada negaramu?

Apakah kau mencintai orang tuamu? Apakah kau merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada orang tuamu?

Apakah kau mencintai pekerjaanmu? Apakah kau merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada hal yang kau lakukan?

Apakah kau mencintainya? Apakah kau merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya?

Mari kita ambil langkah lebih dalam lagi. Dari mana rasa tanggung jawab ini datang?

Tanggung jawab lahir dari arti hidup. Well, tampak complicated dan abstrak. Tapi coba kita lihat arti hidup sebagai nilai yang kita ilhami dalam hidup kita, seperti yang kubilang di awal tulisan ini. Nilai adalah hal yang mendorong manusia melakukan suatu hal. Kalau Sigmund Freud bilang: tension, sedangkan Victor Frankl menyebut ini meaning. Kenapa ada orang yang selalu membuang sampah pada tempatnya? Karena dia beranggapan apa yang dia lakukan memiliki arti untuk lingkungan sekitarnya, mengurangi terjadinya banjir dan memperbaiki lingkungan dia hidup. Nilainya adalah memperbaiki lingkungan tempatnya dan orang-orang sekitarnya hidup. Nilai adalah bentuk lain dari arti hidup.

Lalu bagaimana caranya menciptakan/menemukan/mendapatkan arti hidup? (di sini aku menggunakan tiga kata kerja karena tidak penting apakah arti hidup itu diciptakan, ditemukan, atau diberi, yang terpenting adalah seseorang memiliki arti hidup)

Arti hidup lahir dari ikatan. Ikatan akibat interaksi kita dengan lingkungan kita.

Ikatan berbeda-beda bentuknya. Ada interaksi seseorang dengan orang yang membesarkannya dari kecil (orang tua), ada juga interaksinya dengan orang lain yang tinggal serumah dengannya (keluarga), ada interaksinya dengan orang lain yang tinggal tidak jauh dari tempat dia hidup (tetangga), ada juga interaksinya dengan orang-orang yang dia temui setiap harinya (teman dan kolega), ada juga interaksinya dengan seseorang yang membuat dia bahagia dan aman, mendukung keinginannya, dan/atau memiliki pandangan hidup yang sama (kekasih). Selain dengan benda hidup, interaksinya dengan suatu hal di dunia ini seperti mobil, sepak bola, kesehatan, lingkungan dia hidup, dan lainnya juga membentuk ikatan (pekerjaan, hobi, dan negara).

Karena ikatan berbeda-beda bentuknya, tanggung jawab pun berbeda-beda bentuknya: tanggung jawab kepada orangtua, keluarga, anak, tetangga, teman, kekasih, pekerjaan, hobi, dan negara.

Menimbang hal ini, aku tidak percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Bagiku, cinta pada pandangan pertama adalah nafsu. Hal ini karena belum ada interaksi yang terjadi (assuming pandangan pertama yang dimaksud adalah input sensori dan bukan karena suatu interaksi). Akan tetapi, bukan tidak mungkin juga cinta lahir dalam situasi tersebut. Karena dia memiliki nafsu (keinginan), dia berinteraksi dengannya. Dari sini, bisa terlahir cinta. Meskipun begitu, cinta tetap lahir dari nilai, bukan lahir dari nafsu. Belum tentu nafsu menghasilkan cinta. Lain halnya dengan nilai, jika seseorang memiliki suatu nilai yang dia ilhami, dia akan cinta dengan hal-hal yang berkaitan dengan nilai tersebut.

Perlu diingat, tidak semua interaksi menghasilkan tanggung jawab. Ada orang-orang yang tinggal di suatu negara tetapi dia tidak merasa bertanggung jawab atas negaranya. Hal ini karena interaksi tersebut tidak membentuk suatu nilai atau arti hidup dalam dirinya.

Terimakasih

Terakhir, nilai yang ada dalam diri seseorang tidak pasti selamanya tetap. Nilai ini bisa berubah karena manusia adalah suatu sistem yang memiliki nilai-nilai yang dapat berubah sesuai dengan interaksinya. Seseorang bisa saja tidak lagi menganggap temannya dekat karena satu atau dua hal.

Meskipun nilai ini berubah, fakta dia pernah berinteraksi dengan seseorang atau suatu hal tidak berubah. Interaksi ini akan tetap ada selama dia hidup. Seseorang yang sudah putus dengan kekasihnya mungkin tidak lagi merasakan cinta. Dia telah menjadi “mantan”. Tapi hal ini tidak merubah bahwa dirinya pernah berinteraksi dengannya dan pernah membentuk ikatan dengannya dan pernah berkontribusi dalam hidupnya.

Oleh karena itu, aku mengucapkan terimakasih untuk orang-orang yang telah menjadi arti dalam hidupku, apapun bentuk ikatan itu. Karena kalianlah aku hidup dan merasakan kehidupan.